Selasa, 22 Mei 2012

SEKULARISME DAN LIBERALISME

SEKULERISME & LIBERALISME

        Sebuah Pengantar & Pengembangan Wacana Keislaman


                                                                                  
             Liberalisme dan Sekularisme adalah dua aliran yang akhir-akhir ini sedang menggelisahkan orang tua dan sebagai wadah puberitas pemikiran kaum muda. Liberalisme dan Sekularisme merupakan aliran pemikiran yang saat ini banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran pemuda Islam Indonesia, terutama sekali adalah para mahasiswa dari golongan NU yang mempelajari tentang ke-Islaman. Dan yang lebih tragis lagi bahwa sebagian besar mereka kurang mampu mencerna mana yang perlu diambil sebagai ketegasan komitmen dan mana yang harus dikaji ulang dan diclarifikasi menggunakan teori-teori memahami agama yang kokoh dari al Qur’an dan al Sunnah. Karena bagaimanapun yang namanya inofasi sudah barang tentu ada yang salah dan ada pula yang benar, sebagaimana yang pernah disunnahkan oleh Nabi Muhamad yaitu “kesalahan dalam inofasi masih dapat pahala satu dan kalau benar dapat pahala dua”, maka sangat tepatlah motto yang didukung oleh Gus Dur dan para modernis sekarang yaitu “Al Khifdzu ala as salafi As Sholih wal Akhdzu bi Al Jadid Al Ashlah” sebagai filter perkembangan pemikiran-pemikiran baru tentang pemahaman Qur’an dan Hadits. Dan yang perlu diwaspadai adalah bahwa bentuk-bentuk metodologi pemikiran baru yang masing masing mempunyai argumentasi aqliyah yang kuat dan cenderung mudah diterima oleh akal dalam konteks kekinian. Hal ini kalau kita sebagai generasi moslem tidak jeli dalam mensikapinya, maka sangat mudahlah kita diombang-ambingkan oleh berbagai isu kemodernan, apalagi generasi sekarang umumnya sudah mengabaikan al hadits sebagai referensi yang menjadi guide kita untuk memahami nash-nash al Qur’an. Hal ini dikarenakan kebanyakan mereka sudah menjadi korban mode pemikiran Barat, dan terhipnotis oleh opini yang mengangkat percobaan-percobaan dalam memahami nash-nash agama. Padahal apa sebenarnya Liberalisme itu dan apa pula Sekularisme? Siapa tokoh pencetusnya? Dan pula apa tujuan dan visi awalnya? Kemudian sejak kapan digunakan sebagai istilah dalam perkembangan pemikiran Islam?. Apakah semua konsep Liberalis dan Sekularis bisa kita terima apa adanya? Atau bahkan harus kita tolak semuanya ataukah bisa dinisbatkan sebagai hasil ijtihad dalam memahami al Qur’an yang tentunya mengandung kebenaran dan kesalahan?. Dari pertanyaan-pertanyaan ini saya ingin memberikan gambaran kronologis tentang kedua aliran tersebut dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran dalam Islam.


Definisi
a. Sekularisme 
Kata sekularisme dari bahasa latin “saeculum” yang diartikan “doktrin yang bersifat menduniawikan yaitu melepaskan hidup duniawi dari ikatan-ikatan agama atau dogma” adapun sekularisasi adalah proses penduniawian yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama atau dogma (1).
Kemudian dalam kamus dunia baru oleh Dr. Wipster diartikan “orientasi duniawi yang menolak setiap bentuk keimanan dan undang-undang tradisi (prinsip). Dan juga diartikan keyakinan bahwa agama tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan”.
Dalam bahasa arab istilah sekularisme sering disebut dengan “ilmaniyah atau almaniyah” yang dinisbatkan kepada ilmu dan alam kemudian dipakai sebagai istilah yang berlawanan dengan pensucian terhadap agama atau dogma atas hal-hal metafisika. Namun Dr. Yusuf Qordlowi dalam bukunya “At Tathorruful Ilmani fi Muwaajahatil Islam” mengatakan bahwa penerjemahan kata sekular kedalam bahasa arab seperti ini merupakan penerjemahan yang salah dan yang lebih tepat adalah “al laa diiniyah” yaitu tidak beragama.(2).
Para sejarawan mendefinisikan sifat dan batasan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan “penempatan” agama dalam masyarakat atau budaya. (3)
Dari wacana diatas dapat disimpulkan bahwa sekular secara umum didefinisikan sebagai bentuk pemikiran yang bersifat duniawi yang terbebas dari pengaruh-pengaruh tradisi, dogma, maupun agama serta menduniawikan unsur metafisika.

b. Liberalisme
            Liberalisme berasal dari bahasa Inggris “liberation” yang artinya pembebasan dan “liberate” yang berarti memerdekakan, kemudian kata liberalisme digunakan sebagai istilah aliran pemikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin. Istilah ini baru digunakan pada abad ke-19 dan berasal dari kaum pemberontak Spanyol yang menamakan dirinya liberales kendatipun demikian pemikiran  liberalisme telah berkembang jauh sebelumnya.
Ketika seorang orientalis bernama Arberity dalam bukunya “Ad Dien Fi Syirqi Al Ausath” mengatakan bahwa “matrialisme, naturalisme, dan humanistik merupakan manifestasi dari sekularisme”. Kalau sekularisme didefinisikan demikian maka tidak ada perbedaannya dengan liberalisme, biarpun kedua bentuk pemikiran tersebut punya latar belakang yang berbeda. Sekularisme muncul dari ketidak puasan atas dominasi agama atas kekuasan politik. Sedangkan liberalisme muncul pertama-tama digunakan sebagai istilah dalam politik ekonomi demi tercapainya target harta yang melimpah.
Pada prinsipnya sekulerisme dan liberalisme adalah sama-sama aliran pemikiran yang memiliki tujuan sama yaitu kebebasan sosial dalam berinofasi baik dalam bidang sisial, politik, ekonomi, budaya dan pemahaman agama melalui proses berfikir yang dibantu oleh keadaan lingkungan.

Kronologi dan Tokoh

            Gerakan sekularisme di Eropa muncul sejak akhir abad kegelapan (ahir abad 16 M) sebelum terjadi revolusi di Perancis. Kemunculan gerakan ini merupakan akibat dari ketidakpuasan para cendikiawan Eropa atas dominasi geraja yang menjastifikasi dirinya sebagai pemegang kata ahir dari seluruh segi-segi kehidupan manusia, mulai dari urusan pernikahan, kematian, masuk nirwana dan neraka, sampai pada klaim atas hasil experimentasi ilmiyah. Gereja juga menjastifikasi kekuasaannya yang otoriter sebagai penjelmaan kuasa tuhan di alam semesta ini.
Dari dominasi gereja semacam ini ahirnya timbul kejumudan berfikir dikalangan umat kresten Eropa pada saat itu, sehingga Eropa mengalami krisis pemikiran yang mengakibatkan kemunduran Eropa, sampai-sampai abad itu disebut dengan abad kegelapan Eropa. Hingga pada ahirnya muncul para cendikiawan Eropa seperti John Loke, Tomas Hobees, Cristian Bacoun, Newton, Copernicus 1543,  dan lain-lain yang berusaha mengusik dan melawan kekuasaan gereja. Hak prerogatif gereja dalam mentafsirkan teks-teks al Kitab mulai digugat dan gereja mulai ditinggalkan oleh para pengikutnya.(5)
Dari perlawanan-perlawanan para cendikiawan ini ahirnya pihak gereja terpaksa menanggung dua buah konsekwensi, yang Pertama: Adanya tuntutan atas keabsahan interpretasi yang liberal terhadap injil (New Testament) tanpa jalur kependetaan sehingga interpretasinya bisa relevan kembali dengan dunia kontektual pada saat itu. Kedua: Semakin banyak orang yang lari dari Gereja atau yang bersifat keagamaan dengan menawarkan bentuk–bentuk pemikiran sekular dan memisahkan antara pemikiran agama dengan pemikiran duniawi dengan motto yang terkenal yaitu “u’tu ma li as sulton li asulton wa u’tu ma lillahi lillah”  yang benar-benar memisahkan antara kepentingan agama dengan kepentingan politik dan sosial kemasyarakatan, jadi agama berjalan dengan otoritasnya sendiri dan politik berjalan dengan otoritasnya sendiri yang mana antara agama dan politik tidak saling mencampuri dalam semua permasalahan dalam artian saling mentolelir antara agama dan politik (6).
Adapun gerakan liberalisme muncul mula-mula adalah didasari oleh pemikiran bagaimana meningkatkan ekonomi rakyat? Dan juga usaha kearah kemakmuran dan keamanan rakyat dari penekanan-penekanan pihak manapun terutama sekali adalah pemerintah. Dari sini maka muncul pemikiran Liberalisme yang dalam sebuah aliran dibedakan antara liberalisme politik dan liberalisme ekonomi yang selanjutnya digunakan sebagai istilah liberalisme pemikiran.
            Liberalisme politik berdasar pada keyakinan bahwa semua sumber kemajuan terletak dalam perkembangan perkembangan pribadi yang bebas. Aliran ini memperjuangkan kedaulatan rakyat dan kebebasan individu terhadap berbagai bentuk kekuasaan muthlak. Langkah pertama perjuangannya telah dilakukan oleh gerakan Reformasi. Dalam abad ke-17 dan ke-18 timbul perlawanan terhadap absolutisme dan perjuangan menuju kebebasan jiwa dan bernegara. Tokoh liberalisme di Inggris adalah John Locke, diperancis Voltaire, Montesquieu, dan JJ. Rosseau, di Jerman Immanuel Kant.
            Dalam lapangan politik liberalisme memperjuangkan berbagai kebebasan yang hendaknya dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Diantaranya kebebasan agama, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat. Sehingga dalam liberalisme dibutuhkan ruangan yang umum dan jaminan perlindungan dari undang-undang negara. Kebebasan yang diperjuangkan itu hanya terjamin dalam negara hukum yang mengindahkan Trias Politica. Yang mana cita-cita liberalisme pada akhirnya telah mencetuskan revolusi di Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776), dan Revolusi Prancis (1789).
            Sedangkan Liberalisme Ekonomi berdasar pada keyakinan bahwa kemakmuran orang perorangan dan masyarakat seluruhnya diusahakan dengan memberi kesempatan untuk mengejar kepentingan masing-masing dengan sebebas-bebasnya sebagai persyaratan untuk itu hak milik swasta harus dipertahankan dan pemerintah tidak turut campur dalam kehidupan ekonomi. Dengan demikian, segala tindakan swasta hanya terpengaruh oleh cara terbentuknya harga, sehingga kemakmuran rakyat terjamin. Dari perjuangan pemikiran ekonomi semacam ini hingga membawa seorang Adam Smith (1723-1790) dari inggris dianggap sebagai bapak liberalisme ekonomi.
            Pada abad ke-20, perkembangan neo-liberalisme tetap berpegang pada persaingan bebas, tetapi dengan memperhatikan syarat-syarat persaingan agar berlangsung secara tertip dan positif. Oleh karena itu neo-liberalisme menyetujui campur tangan pemerintah dalam batas-batas tertentu yang tidak mematikan kebebasan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Simons, Hayek dan Ropke.

Masa Perkembangan

Mengikuti perkembangan liberalisme dan sekularisme di Eropa, dan perkembangan-perkembangan pemikirannya tentang sosial kemasyarakatan, politik, dan metodologi-metodologi pemikiran tentang masalah duniawi yang murni tanpa pengaruh dari agama atau pemikiran agama yang murni dari pengaruh duniawi, maka kita akan menjumpai bentuk pemikiran seperti ini bisa diklasifikasikan kedalam dua fase.
Pertama, fase perkembangan sekular yang memisahkan urusan agama atau dogma gereja dengan urusan-urusan kemasyarakatan dan politik untuk membangun sebuah negara borjuisme (7). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka berusaha untuk memisahkan antara pemikiran agama dengan pemikiran duniawi dengan motto yang terkenal yaitu “u’tu ma li Qaisar li Qaisar wa u’tu ma lillahi lillah”  yang benar-benar memisahkan antara kepentingan agama dengan kepentingan politik dan sosial kemasyarakatan, jadi agama berjalan dengan otoritasnya sendiri dan politik berjalan dengan otoritasnya sendiri yang mana antara agama dan politik tidak saling mencampuri dalam semua permasalahan dalam artian saling mentolelir antara agama dan politik. Adapun tokoh-tokoh sekular pada fase ini adalah Tomas Hobes (1588-1679), John Loke (1632-1716), John Jack Rosseow (1712-1778). Pada fase ini gerakan sekularisme sudah mulai berhasil mempengaruhi orang-orang Islam untuk mengikuti arah pikir mereka seperti literatur pendidikan yang hanya mempelajari masalah duniawi, disamping mulai menyebarnya konstitusionalisme Barat dengan maksud untuk membatasi kekuasaan mutlak sultan dan raja-raja Islam.
Kedua, fase perkembangan sekularisme yang terjadi pada masa “refolusi ilmiyah” yang dipelopori oleh para filosuf revolusioner seperti Feuwerback (1804-1882), Karl Mark (1818-1883), Lenin (1870-1924). Pada fase ini sekularisme bergerak untuk tujuan merusak agama, karena mereka menganggap bahwa agama dianggap menghalangi atau menghambat pembentukan negara sosialis yang merupakan bentuk negara yang mengutamakan keadilan dan persamaan hak dan kewajiban sekaligus. Adapun bentuk gerakan mereka adalah dengan mengobarkan pengaruh faham marksisme, leninisme, dan komunisme sebagai nilai tawar bagi pemeluk-pemeluk agama.
Ketiga, fase perkembangan liberalisme dan sekularisme yang terjadi pada masa modern. Yaitu perkembangan yang terjadi akibat penindasan-penindasan yang dilakukan oleh colonialis sehingga mengakibatkan gerakan anti penjajahan yang memunculkan kedaualatan rakyat dan demokratisasi. Dengan kedaulatan rakyat dan demokrasi kehidupan manusia semakin bebas dalam menentukan hukum negara yang akan digunakan untuk melindungi kebebasan berpendapat. Dari sinilah yang selanjutnya memberikan peluang umat beragama dan khususnya umat Islam untuk berfikir bebas dalam memberikan interpretasi baru bagi al Qur’an yang kecenderungannya disesuaikan dengan kondisi sosial politik bentukan undang-undang negara berdaulat tersebut. Yang mana pada prinsipnya adalah bagaimana mengamalkan agama yang bermaslhah bagi umat manusia didalam sebuah negara dan tidak bertentangan dengan undang-undang negara. (8)

Visi dan Misi

Perbedaan kronologi antara aliran sekular dan liberal, tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan dalam visi dan misi kedua aliran pemikiran tersebut, terlebih lagi setelah kedua istilah tersebut digunakan sebagai nama sebuah aliran pemikiran. Adapun visi dan misi yang paling dominan dalam aliran pemikiran ini adalah;
1.       Menginginkan adanya kemakmuran dan kedamaian rakyat
2.       Menginginkan kebebasan dalam berinofasi atau mengorbitkan pendapat
3.       Agama atau dogma dipandang sebagai keyakinan pribadi
4.       Negara dipandang sebagai pelindung hukum demi persamaan hak asasi manusia.
5.       Akal dianggap sebagai fasilitas utama dalam aliran kebebasannya
6.       Sama sama menuju kearah demokratisasi dalam hal politik dan bercita-cita kearah kapitalisme dalam hal ekonomi. 
Dalam perkembangan sekularisme dan liberalisme selanjutnya, biarpun memiliki persamaan visi dan misi namun tetap memiliki perbedaan ketika sudah menjadi aliran pemikiran dalam dunia Islam, karena menurut Fazlurrahman bagaimanapun dalam sekularisme masih tetap menganggap bahwa al Qur’an tetap dipandang sebagai sumber hukum umat Islam yang mengandung makna potensial yang amat dalam, hanya saja bagaimana umat Islam mampu menerjemahkan kedalam kontekstual secara obyektif dengan menggunakan kekuatan akalnya yang kedudukannya tidak lebih rendah dari pada al Qur’an itu sendiri tanpa terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran atau penafsiran-penafsiran sebelumnya yang dipandang tidak relevan lagi. Sedangkan Islam liberal seperti yang digagas oleh orang-orang muda sekarang, adalah bagaimana kebebasan akal yang fithroh ini bisa mewujudkan bentuk pemikiran yang lebih evektif dalam menciptakan kemashlahatan umat dengan tanpa terpengaruh oleh agama atau teks al Qur’an itu sendiri. Sehingga kaum liberalis lebih cenderung bisa dikatakan kelompok humanis dari pada disebut sebagai kelompok agamis. Karena mereka sudah tidak membedakan agama mana yang paling benar dan semua agama dianggap memiliki kebenaran yang sama dan seimbang, tinggal agama mana yang menginginkan perdamaian dan yang paling toleran dengan keyakiran individu lain itulah yang dianggap paling benar.

Pengaruh Gerakan Sekuler Terhadap Islam

Gerakan kontekstualisasi al Qur’an secara sekuler disebabkan oleh beberapa faktor ; pertama, karena pengaruh dari budaya barat yang memasuki dunia Islam bersamaan dengan proses asimilasi budaya akibat colonialisme Barat dan perluasan daerah kekuasaan Islam yang hingga menguasai daerah Eropa Timur, disamping itu adanya tukar menukar ilmu pengetahuan pada berbagai disiplin keilmuan seperti yang kita lihat adanya “harokatu tarjamah” yang dilakukan oleh para filusuf seperti Ibnu Sina, Al Farobi, Al Kindi, yang banyak mengadopsi ilmu-ilmu dari Aristoteles dan Plato serta Sokrates. Begitu juga banyaknya buku-buku Filosof Moslem yang diterjemahkan ke bahasa Asing yang dipelajari oleh cendikiawan-cendikiawan Barat. Dengan adanya proses hubungan budaya semacam ini, maka wajar kalau sekularisme yang muncul diahir abad kegelapan Eropa lebih cepat merambat ke dunia Islam. Dan sebagai contoh yang sangat fulgar adalah kerajaan Turki Usmani yang sejak abad 14 telah meluaskan daerah kekuasaannya ke Eropa Timur dan mempertahankan kekuasaan itu sampai awal abad 20.
Pada awal abad 18 mulai banyak pengaruh-pengaruh budaya barat yang memasuki Turki diantaranya adalah membudayanya buku-buku bacaan ilmu pengetahuan duniawi yang menjadi nilai tawar bagi bacaan-bacaan agama, bahkan pada tahun 1727 Mufti mengeluarkan fatwa yang isinya melarang penulisan buku-buku agama termasuk juga al Qur’an dan hadits. Hal ini sudah menggambarkan bagaimana proses masuknya sekularisme ke tengah-tengah tatanan dunia Islam. Bahkan secara fulgar Musthofa Kamal Ataturk ahirnya melakukan konstitusionalisasi susunan dan sistem pemerintahan dari bentuk khalifah menjadi Republik Turki.
Kedua, faktor ketidakpuasan para filosof dan pemikir Islam atas keadaan peradaban dan kebudayaan yang statis dan juga mengalami kejumudan pemikiran akibat bentukan dari pemerintahan-pemerintahan feodal yang otoriter yang memberikan tekanan-tekanan pada rakyatnya untuk “sendika dawuh” pada siapa saja yang memimpinnya, sehingga ketika waktu bergulir dan terjadi proses generasi sang pemimpin ini mengalami ketidakmampuan dalam mengaplikasikan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya yang dalam hal ini adalah peraturan-peraturan theologi.
Ketiga, sampai pada pertengahan abad 19, Kamus budaya Islam belum mengenal entry sekularisme. Entry ini kemudian diperkenalkan oleh para alumni sekolah-sekolah missionaris Kristen di Syiria dan Libanon melalui gerakan istinarahnya yang kemudian banyak yang berimigrasi ke Mesir, Tentu saja mereka adalah cendikiawan-cendikiawan non muslim yang sekaligus menjadi pemegang panji kemodernan Barat. Bisa disebutkan misalnya Syubli Syamel (1850-1917), Farh Anton (1874-1953), George Zaedan (1878-1954), Salamah Musa (1882-1953) yang didukung oleh dua majalah yaitu al Muqtathof yang berdiri pada tahun 1876 dan al Hilal yang berdiri pada tahun 1882. Mereka adalah kelompok yang westernised yang sekaligus merupakan tokoh-tokoh mustanirin atau gerakan pencerahan.
Dari sebab-sebab inilah, maka pengaruh gerakan sekular ahirnya menguat di dunia Islam, biarpun pada mulanya gerakan ini mendapatkan tantangan keras dari orang-orang Islam. Di Mesir misalnya, tantangan keras ini menyebabkan Ali Abdul Roziq  pada tahun 1925 dipecat dari Al Azhar. Hal ini terjadi karena respon beliau terhadap perubahan sistem pemerintahan di Turki yang di reformasi oleh Musthofa Kamal Ataturk yang lahir di Turki dan besar dilingkungan umat Islam, namun pada tanggal 3 maret 1924 pada saat turki dipegang oleh kholifah Abdul Majid, ia mengajukan nota kepada Dewan untuk memecat Abdul Majid dari kursi kekholifahan. Dari sinilah ia mulai mereformasi habis-habisan atas kerajaan turki menjadi pemerintahan republik yang sama sekali sekuler. Perbuatan Musthofa Kamal ini didukung  Ali Abdul Raziq melalui bukunya yang berjudul “Al Islam wa Ushulil Hukm” yang membantu argumentasi dengan mengatakan bahwa Nabi Muhamad datang bukan untuk membentuk negara dan oleh karena itu sistem khilafah tidak mempunyai dasar yang kuat dalam teks baik al Qur’an maupun dari al Hadits.
Baik Musthofa Kamal maupun Ali Abdul Roziq saat itu memang sangat fulgar dalam mengadopsi pemikiran sekular, hingga terkesan bahwa ia mengikuti arus sekularisasi dengan menelan mentah-mentah tanpa sadar bahwa ia telah menafikan kekomplekan al Qur’an yang  dipercayai umat Islam sebagai kitab yang syumul seperti disebutkan didalamnya “wa ma farothna min kulli syai’” mengatur segala dimensi kehidupan manusia tanpa ada yang tertinggal, padahal politik dan pemerintahan termasuk salah satu dari dimensi kehidupan manusia, maka sesuai kepercayaan kita pada al Qur’an tak mungkin bahwa urusan pemerintahan tidak disinggung dalam al Qur’an. Kita semua tahu bahwa disisi lain al Qur’an bersifat global, maka urusan pemerintahan perlu kita ambil dari inisial-inisial al Qur’an yang banyak sekali didalamnya “wasyawirhum fil amri”, “quu anfuskum waahlikum naro”, “inna allaha qod ba’atsa lakumu tholuta malika” “Athi’u allaha wa Athi’u ar rusul wa ulil Amri Minkum” dan masih banyak lagi yang lain didalam al Qur’an.
Pemikiran-pemikiran para sekularis yang sangat fulgar yang hanya mengadopsi dari pemikiran sekularis barat ini bukan hanya itu saja namun banyak para pengikut sekular aliran ini seperti bisa disebutkan Toha Husain yang pada tahun 1926 ia menulis bukunya yang berjudul “On Pre Islamic Poetry” yang intinya ia melemparkan keraguan terhadap keotentikan al Qur’an dan Hadits, Nasr Hamid Abu Zaed yang dalam bukunya “mafhumi an nash” mengatakan bahwa al Qur’an berfungsi sebagai buku rujukan sastra yang berhak bagi siapa saja yang ingin mempelajari sastra untuk merujuk kepada al Qur’an. Disamping itu ia juga mengatakan bahwa al Qur’an adalah hasil budaya(9), Sayid Ahmad Khan yang lahir di india tahun 1817, biarpun dia lahir dan dibesarkan dikalangan moslem namun ternnyata ia mempunyai pandangan bahwa hukum yang berlaku dalam al Qur’an sperti potong tangan, jilid, rajam, adalah tindakan yang biadap dan tidak berperikemanusiaan, ia juga mengatakan bahwa al qur’an hanyalah berisi hal-hal ubudiyah, adapun ayat-ayat yang berisi politik, sosial, ekonomi, budaya hanya tergambar dalam masyarakat primitif dizaman Rosulullah yang sama sekali tidak relevan lagi dengan kehidupan masa sekarang sehingga perlu adanya revisi terhadap nash-nash al Qur’an. Kemudian tentang mi’roj nabi ia mengatakan bahwa hal itu hanyalah mimpi nabi belaka (10).
Hal ini adalah bukti bahwa mereka sudah keluar dari koridor al Qur’an seperti layaknya orang Islam, karena bagaimanapun kalau ia memang orang Islam tentu ia akan percaya dengan al Qur’an. Kemudian ada lagi Fatma Mernisi dari Tunis, Nawal Sa’dawi dari Mesir yang memperjuangkan feminisme bebas di Mesir. Sementara dalam kontek keagamaan mereka pada umumnya mengadopsi dari pemikiran-pemikiran mu’tazilah yang menempatkan akal sebagai sumber hukum yang menjadi standart kebenaran adapun al Qur’an tidak lebih dari sekedar legitimator bagi hasil pemikiran akal.
Dan sebagai konsekwensi pemikiran mereka adalah mereka menganggap bahwa kesalahan fatal orang-orang konserfatif adalah taklid buta (mengikuti apa adanya) pada tradisi-tradisi lama yang sampai-sampai menganggapnya sebagai dogma yang harus diikuti apa adanya. Tuduhan mereka ini sebenarnya hanya sekedar didasarkan atas sentimentil dan apologis mereka saja, karena jelas bahwa mereka sebenarnya lebih parah lagi ketika mereka mentaqlid buta pada Barat dalam mentafsirkan ajaran Islam, padahal al qur’an sudah menjelaskan bahwa “idza ja akum fasiqun binaba’in fatabayanu”.
Kalau kita kembali kepada sejarah mungkin secara jujur kita akan mengakui bahwa gerakan-gerakan pembaruan dalam masyarakat Islam juga berlandaskan pada metodologi pemikiran sekularisme barat yang masuk ke dunia Islam bersama-sama dengan asimilasi budaya antara barat dan timur. Namun sekularisasi dalam Islam yang dimaksudkan disini adalah mengadopsi pemikiran baik dari barat dan timur secara kritis dan obyektif dengan mengambil metodologi pemikiran orang-orang sekuler barat dan berpijak pada hasil pemikiran ulama’ salaf dalam mengimplementasikan nash, karena merekalah yang lebih paham dengan tradisi nabi karena zaman mereka yang tidak berpaut jauh dengan nabi.
Namun disisi lain umat Islam yang hidup di zaman yang jauh berbeda dengan fenomena kehidupan ulama’ salaf yang menuliskan buku-buku turats yang masih dibaca pada saat sekarang harusnya tahu diri bahwa dengan perbedaan zaman yang sekian jauhnya tentu mengalami berbagai macam perbedaan baik budaya, politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya dalam perkembangan yang mengiringi kehidupan manusia, sehingga sekularisasi atau modernisasi dalam Islam dimaksudkan obyektifitas dalam memahami nash-nash al Qur’an dan sunnah rosulullah, baik dengan mengadopsi metodologi barat maupun konsensus ulama’ moslem. Dalam artian tetap melakukan metode-metode berfikir ala sekular, namun disisi lain harus tetap mempercayai al Qur’an sebagai hakim yang menentukan nilai kebenaran dan kesalahan.

Sekularisme dan Liberalisme di Indonesia

Perkembangan sekularisme dan liberalisme yang terahir di Indonesia, setelah dipromotori oleh Gusdur dan Nur Kholis Madjid pada tahu 1970-an dan yang kini semakin banyak pendukungnya adalah munculnya gerakan pemikiran yang diperjuangkan oleh JIL dan LKIs Jogja, yang memperjuangkan terbentuknya Islam Inklusif atau Islam liberal yaitu gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001. Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.
Liberalisme yang dimaksudkan oleh gerakan ini adalah berpikir bebas tanpa harus ditekan oleh kekuatan tertentu, baik kekuatan teks, struktur, maupun identitas. Dengan pemikiran seperti ini mereka menganggap akan mampu mendobrak kebuntuan pemikiran keagamaan, terutama menyangkut keadilan sosial, pluralisme, demokrasi, dan civil society.
            Mereka meneriakkan kebebasan sebebas-bebasnya seperti ini lebih dominan didorong oleh faktor emosional atas kekonservatifan umat Islam yang selama ini terbius oleh pemikiran-pemikiran kuno yang sudah tidak relevan. Dan kecenderungan kaum konservatif yang selalu menganggap orang lain tidak sependapat sebagai orang yang bukan Islam. Tanpa menyadari bahwa kaum konserfatif ini telah terbius oleh pendapat ulama’ terdahulu, sehingga kurang teliti dalam menganalisa kesejarahan, dimana keterkenalan pendapat hanya bisa terjadi karena didukung oleh pers. Ketika mereka bermadzhab syafi’iyah seakan menempatkan Imam Syafi’i sebagai fungsi nabi yang seakan kebenaran pemahaman tentang Islam hanya bersumber dari Imam Syafi’i. Ketakutan berinovasi selalu menghuni benak mereka sehingga sangat sulit untuk berinteraksi dengan arus kemodernan yang sebenarnya juga merupakan sunnatullah.
            Dari emosional semacam inilah JIL menjeritkan nada protes dan kejengkelannya sehingga mengutarakan pendapat kontroversial yang berdasarkan akal yang sebenarnya juga merupakan gagasan lama Muktazilah yang diungkapkan lagi pada saat sekarang. Sejarah pernah mencatat bahwa dulunya pandangan Mu'tazilah juga pernah berjaya dan bahkan khalifah al-Ma'mun, khalifah ketujuh dari dinasti Abbasiyyah, sempat menjadikan mazhab Mu'tazilah sebagai mazhabnya negara. Tapi setelah itu, lagi-lagi berkat dukungan penguasa yang menggantikan al-Ma'mun, mazhab Asy'ariyyah-lah yang kemudian mendominasi hingga saat ini.
            Dari jeritan nada protes JIL inilah muncul Gagasan Teologi Pluralis seperti yang diungkapkan oleh Budhi Munawar Rachman melalui artikelnya di harian Republika, 24 Junni 2000 yang berjudul "Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama," ia mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut dan mengembangkan teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA). Teologi pluralis, menurut Rachman, meyakini bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama. Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai "Satu Tuhan dalam banyak jalan." Untuk menguatkan pendapatnya, Rachman mengutip ucapan Rumi, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka'bah?"
Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu global ethics untuk membangun perdamaian dunia. Sejumlah tokoh di Indonesia juga rajin mengampanyekan gagasan ini, salah satunya adalah Gus Dur.
Mantan presiden RI ke-4 ini pernah mengeluarkan pernyataan bernada sinkretis ketika berkunjung ke Bali, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini paling penting. Oleh karena itu, semuanya benar. Semuanya benar."
Terlepas dari apakah berlainan antara tujuan yang disampaikan dengan apa yang ada di dalam hatinya, mungkin demi tercapainya kedamaian antara pemeluk-pemeluk agama, yang jelas Nabi kita Muhammad SAW tidak pernah memberikan contoh ungkapan-ungkapan kepada umat pemeluk agama lain seperti itu. Beliau hanya menyampaikan risalah dari Tuhannya, "Inaddina indallahil Islam," "Laikraha fiddin," "Lakum dinukum waliyadin."
D. Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 seperti berikut ini, "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira, bila agama tanpa alasan dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab, yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jani yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin." Sepintas, pernyataan itu tampak indah, padahal ajaran semacam itu tak ubahnya seperti ajaran-ajaran kaum kebathinan yang tidak mempermasalahkan agama apa yang dianutnya tetapi yang penting batinnya. Pernyataan semacam ini adalah racun halus yang secara perlahan dapat membetot keimanan seorang muslim. Seorang muslim yang menganut paham semacam itu akan tidak peduli terhadap ajaran atau konsep yang telah diajarkan oleh Rasulnya sendiri yang diperolehnya melalui wahyu dari Allah SWT, hanya demi persaudaraan kemanusiaan.
Sebenranya Kontroversial Gus Dur, Nur Kholis Madjid dan JIL hanyalah luapan emosional belaka, karena mereka hanyalah menginginkan bagaimana agama Islam mampu mempromotori perdamaian dunia yang mana dalam Islam sendiri juga sangat dianjurkan persatuan dan perdamain serta toleransi antar umat beragama, karena nabi sendiri juga melindungi orang-orang kafir dzimmy. Namun mereka menggunakan bahasa emosional karena merasa susah untuk menggugah umat Islam agar berani melakukan rekonstruksi pemahaman agama dengan menggunakan akal dan ilmunya. Hal ini dikarenakan doktrin yang banyak tertanam dalam benak pikiran dan perilaku umat beragama adalah bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, pasti, dan tuntas. Mereka menganggap, bahwa agama adalah wilayah yang harus disucikan dari kreatifitas dan kritik manusia. Sebab, agama adalah wilayah milik Tuhan yang terjamin kebenarannya. Orang yang berani mengkritik agama justru dianggap orang yang gila, aneh, jauh dari kebenaran.
Dari doktrin semacam ini pada akhirnya memberangus mereka untuk mengakui bahwa agama mengalami evolusi atau perkembangan yaitu dari agama primitif menuju ke agama historis dan kemudian berkembang menjadi agama modern. Berkaitan dengan evolusi keagamaan di atas, Abdul Karim Soroush, seorang pemikir Islam liberal dari Iran, mengajukan teori penyusutan dan pengembangan keagamaan. Dalam cara kerja teori ini, sebuah kebenaran teks keagamaan tidaklah bersifat final. Artinya, meskipun agama adalah sebuah doktrin dari Tuhan yang dijamin kebenarannya, akan tetapi pemahaman agama masih bersifat relatif dan terbuka dari berbagai interpretasi baru.  Penegasan Soroush bahwa “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog antar-intra iman, serta giat bekerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan menggalakkan demokratisasi.
Orang yang menghindari pemikiran evolusi keagamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama sesungguhnya secara tidak langsung justru membekukan agama sehingga agama menjadi kehilangan elan vitalnya dan cenderung menjadi kekuatan yang tidak membebaskan bagi para pemeluknya. Ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna dan berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan sistem budaya yang juga senantiasa berubah. Maka, pemahaman keagamaan yang terus berkembang adalah salah satu bentuk usaha reformasi dan kebangkitan keberagamaan.

1 komentar:

  1. The best Bitcoin gambling sites in 2021
    The Best Bitcoin Gambling Sites 아시아 게이밍 · 1 – InterTops · 2 – 888 Casino · 대딸 야동 3 – Yummys Gold Casino 토토 사이트 해킹 · 4 – 사설 바카라 BoVegas Casino · 5 – 999betasia Slots of Vegas · 6 – Microgaming

    BalasHapus